“Baju Mama,” jawab saya.
“Kok, Mama beli baju terus, sih.” Kali ini si bungsu protes, padahal terakhir kali paket baju datang bukan untuk saya.
“Dulu waktu kita di Belanda, Mama enggak beli baju sama sekali, loh. Ini aja baju yang Mama beli waktu menyusui Milie.”
Saya membela diri sambil menunjukkan akses menyusui di baju yang saya kenakan. Iya, saya masih pakai baju dari 9 tahun yang lalu. Baju yang menemani perjalanan menyusui tiga bocah di rumah.
“Kok, Mama beli baju terus, sih.” Kali ini si bungsu protes, padahal terakhir kali paket baju datang bukan untuk saya.
“Dulu waktu kita di Belanda, Mama enggak beli baju sama sekali, loh. Ini aja baju yang Mama beli waktu menyusui Milie.”
Saya membela diri sambil menunjukkan akses menyusui di baju yang saya kenakan. Iya, saya masih pakai baju dari 9 tahun yang lalu. Baju yang menemani perjalanan menyusui tiga bocah di rumah.
Belakangan saya mulai merasa perlu untuk mengeluarkan baju-baju lama, terutama kaos rumah dan daster berlengan pendek. Gamis rumahan jadi lebih nyaman dipakai, apalagi saya punya dua anak laki-laki. Hitung-hitung latihan menjaga pandangan anak sendiri walau usia baligh mereka masih lama.
Masalahnya sebagai bendahara rumah tangga, membeli baju baru (untuk diri sendiri) berarti budget ekstra. Kenapa “untuk diri sendiri” perlu ditulis tebal? Karena yang namanya naluri ibu-ibu, kalau beli untuk anak, enggak pakai pikir lama. Begitu untuk diri sendiri, sampai berbulan-bulan masih setia nangkring di keranjang, hahaha.
No wonder I fell in love with preloved stuffs. Dengan jumlah uang lebih sedikit, saya bisa dapat barang dengan kualitas baik. Biasanya barang-barang ini dijual bukan karena rusak, melainkan karena si pemilik bosan atau enggak perlu lagi. Enggak jarang, barang yang dijual adalah barang baru. Alasannya bisa karena enggak jadi dipakai, enggak perlu, atau enggak suka (biasanya barang hadiah).
Meski begitu, saya juga pernah kecewa karena menerima barang yang enggak sesuai ekspektasi. Ini memang kelemahan jual beli daring. Penjual harus menjelaskan sejelas-jelasnya tentang kondisi barang. Foto saja enggak cukup. Gara-gara cuma melihat foto yang dilengkapi informasi kurang detail, saya pernah membeli tas dengan bukaan sempit dan gamis berkaret lengan melar, hiks.
Memang lebih afdal memilih barang secara langsung. Kita bisa menemukan harta karun juga. Tapi sayangnya, di Indonesia konsep pasar/toko barang bekas alias pasar loak masih dipandang kurang fancy—atau orang Indonesia kebanyakan gengsi? Mungkin identik dengan barang-barang kualitas rendah, padahal enggak begitu selama barang-barang yang dijual sudah terkurasi dengan baik.
Saya jadi kangen dengan toko barang preloved di dekat apartemen tempat tinggal kami dulu. Toko itu menyediakan "lapak" berupa rak-rak yang sudah dipartisi yang bisa disewa siapa saja. Saya mendapatkan beberapa baju dan perlengkapan newborn sangat bagus untuk si bungsu di sana. Rasanya seperti menjadi orang paling beruntung hari itu. Anak-anak pun jadi enggak pernah protes dibelikan baju preloved.
Selain bersahabat dengan dompet (harga dua gamis yang terakhir saya beli hanya Rp65.000!), membeli baju preloved punya misi mulia, loh. Dengan memperpanjang umur barang—misi yang berseberangan dengan produsen fast fashion—jumlah limbah tekstil akan berkurang. Ya enggak signifikan pastinya, tapi setidaknya kita enggak berkontribusi dalam menambah jumlahnya. Sobat bumi banget, enggak tuh?
Kalau kita tidak bisa sempurna, jangan tinggalkan semua.
Untungnya sekarang saya bergabung dalam grup dan komunitas yang berjualan barang-barang preloved. Dengan segala plus dan minusnya, kegemaran saya untuk berburu barang bekas cukup terobati. Alhasil, lemari saya terisi berbagai baju preloved. Mulai dari kerudung, kaos panjang, celana panjang, gamis hingga mukena, sajadah, dan setelan olahraga. Asal sesuai kebutuhan dan kondisinya masih baik, enggak baru juga enggak apa-apa, kan?
5 Comments
Ada masanya aku juga suka banget berburu baju dan celana preloved. Terutama pas anak-anak masih kecil, karena kupikir masa pakai baju anak-anak itu sebentar sekali, agak sayang kalau beli mahal-mahal trus kepakainya cuma sebentar. Tapi sekarang karena mereka sudah mulai pemilih, mau nggak mau harus menyesuaikan dengan selera mereka yang seringnya minta dibeliin baju dari mal hwhwhw
ReplyDeleteHal yang saya tunggu2 kalau pas lagi mudik ke Jawa yaitu belanja barang preloved di grup ITBMh. Kenapa harus nunggu mudik? Karena ongkirnya menang banyak! Kan saya tinggal di Kaltim. Agak repot kalau harus nunggu barang sekilo. Ongkir regulernya bisa sama atau lebih mahal dari ongkirnya.
ReplyDeleteKebetulan aku baca ini pas lagi pake blus yg udah ada dari jaman hamil si Sulung! (Dan barusan nganterin dia berangkat mudik lagi ... buat cari kerja!!!) Hahaha. Nggak banyak sih, baju yang bertahan sampe selama ini. Cuman memang ini kesayangan banget. Dan kondisi masih sangat bagus! #alasan 😁✌️
ReplyDeleteSalfok dengan Si Bungsu yang kritis. Protes ehehe.
ReplyDeleteSetuju, Teh Muti. 😍. Asal sesuai kebutuhan dan kondisinya masiy baik, gak baru juga gapapa.
Aku juga suka nyari baju bekas. Di Chiang Mai sini beberapa tahun terakhir banyak toko baju bekas yang entah mereka dapat dari mana. Waktu mau kemping di musim dingin, aku merasa beruntung sekali dapat jaket bekas dengan harga murah banget yang kalau dibeli baru bisa ngabisin sepuluh kali lipat dari harga yang aku bayar kayaknya.
ReplyDelete