[Resensi] Berdoa, Mulai (2022), Suara Minoritas dalam Sepotong Film

Agak bingung mulanya saat Tantangan Magata bulan ini mengangkat tema “resensi”. Pasalnya, buku yang sedang saya baca belum juga rampung. Terlebih lagi, hingga bulan kelima baru dua judul buku yang berhasil saya taklukkan. Satu, Recehan Bahasa karya Ivan Lanin. Satu lagi, Garuda Gaganeswara karya Ary Nilandari.

Sebenarnya saya mau membahas yang kedua karena genrenya sangat unik, verse novel. Sayangnya karena sudah lama selesai, saya lupa detail ceritanya dan karenanya harus membaca ulang. Dengan waktu yang ada, rasanya mustahil deh (pelajaran nomor 4826: jangan menunda-nunda pekerjaan hingga mepet tenggat pengumpulan!).

Kemudian, tiba-tiba saya teringat bahasan di X beberapa pekan lalu tentang film pendek yang mengambil sudut pandang kaum minoritas di Indonesia. Jarang-jarang, kan? Warga X menilai film tersebut layak untuk ditonton.

Berdurasi hanya 10 menit, saya tak perlu menyisihkan waktu khusus. Namun, jangan dikira waktu singkat berarti minim makna. Justru sebaliknya, penonton diajak untuk merenung dan berefleksi makna dari setiap adegan yang ditampilkan.

Dirilis pada 2022, film berjudul Berdoa, Mulai besutan Tanzilal Azizie dari rumah produksi Degradians Studio ini bercerita tentang kehidupan siswi SMA bernama Ruth (Putri Agna). Hidup di tengah mayoritas penganut Islam, Ruth yang beragama Katolik harus beradaptasi dengan kebiasaan teman-teman muslimnya. Ini digambarkan dengan lugas sejak menit pertama saat Ruth (berdiri diapit teman-teman berjilbab) mengikuti doa bersama dengan cara Islam pada upacara di sekolah.



Adegan-adegan berikutnya cukup memantik emosi saya. Misalnya, saat Ruth terpaksa terbiasa dengan suara toa masjid. Dia tidak merasa terganggu sama sekali padahal sedang belajar. Juga, saat Ruth tetap berada di kelas saat pelajaran Agama Islam. Topiknya soal neraka Jahanam, menjaga keimanan, dan Islam sering dianggap intoleran padahal rahmat bagi seluruh alam.

Tidak banyak dialog dalam film ini. Penulis cerita seakan ingin membuat penonton memaknai sendiri setiap adegan yang disajikan. Meski singkat, percakapan antara Ruth dan temannya Abdul (Carel Alberto Karma) saat makan siang di kantin sekolah lucu sekaligus menyentil. “Jangan pilih-pilih dosa, Dul. Dosa apa pun enggak akan diterima di surga,” kata Ruth. Ia mengomentari Abdul yang menolak makan babi padahal suka mabuk. “Surga kita aja kan, beda server, Ruth,” jawab Abdul.

Tampaknya tujuan si penulis cerita berhasil. Film ini memaksa saya untuk bisa melihat dengan kacamata berbeda. Sebagai muslim dan bersekolah di sekolah Islam dari TK hingga SMA, saya tidak merasa terkoneksi dengan Ruth. Lingkungan saya terlalu homogen. Justru dari komentar-komentar di YouTube saya baru tahu, ternyata situasi Ruth nyata adanya.

Ada yang mengaku hafal Alfatihah (plus artinya) dan doa-doa sehari-hari. Ada yang temannya bahkan hafal Asmaul Husna. Ada yang bisa menulis Arab Melayu karena termasuk muatan lokal di sekolahnya. Ada yang lebih bisa menjawab soal-soal ulangan Agama Islam saat SD ketimbang pelajaran agamanya sendiri saat SMP. Meski begitu—setidaknya sampai mereka berkomentar—mereka tetap memegang teguh agama masing-masing.

Tentu ada pula komentar miring, misalnya soal kerasnya suara toa masjid tanpa mengenal waktu. Ini menohok saya sebagai muslim. Tanpa disadari, muslim sebagai mayoritas merasa sah saja berbuat demikian tanpa mengindahkan kemungkinan mengganggu nonmuslim.

Keunikan temanya membawa film ini pada sederet pencapaian, antara lain 30 Film Cerita Pendek Rekomendasi Asosiasi Festival Film Indonesia 2022, Nominasi Piala Maya 2022, dan Official Selection JAFF 2023. Jika ada yang kurang—menurut komentator—adalah bagian doa yang diucapkan Ruth sebelum makan. Katanya, seharusnya jika Ruth beragama Katolik, doanya begini dan begitu. Harusnya penulis cerita lebih teliti dan meriset lebih dalam. Tentu karena saya muslim, saya tidak paham. Mungkin ada unsur kesengajaan dari penulis cerita? Entahlah.

Yang jelas, saya merekomendasikan film ini untuk ditonton agar kita mendapat sudut pandang baru. Kemampuan melihat dari kacamata orang lain akan mengasah kepekaan dan meningkatkan kebijaksanaan kita. Kita akan menghindari perbuatan yang sekiranya mengganggu umat agama lain. Kita juga tidak lagi pandai berprasangka buruk, apalagi menuduh bila ada yang tidak sesuai dengan kepercayaan kita.

Dari Ruth, saya belajar untuk toleran terhadap perbedaan. Namun, memegang teguh keimanan juga adalah hal penting. Meski begitu, saking seringnya terpapar kebiasaan agama lain, kita bisa mengikutinya tanpa sadar. Seperti Ruth yang membaca basmallah sebelum makan setelah berdoa dengan tata cara Katolik. Satire yang mengena.



Post a Comment

0 Comments