Nara dan Perspektif Baru tentang Sekolah

Bagi saya, Nara bukan hanya kota yang terkenal dengan rusanya, melainkan juga kota tempat perubahan pola pikir bermula. Di ruang tengah sebuah penginapan tepatnya, saya mengobrol dengan dua tamu lain sambil melepas lelah setelah berjalan seharian. Satu orang Jepang, mahasiswa S1 yang habis mengikuti pertandingan olahraga. Satu lagi orang Australia keturunan India yang sedang solo traveling keliling dunia dengan tujuan utama napak tilas daerah asal nenek moyangnya di India. Dia mahasiswa S1 Kedokteran, tapi sengaja mengambil cuti kuliah setahun demi perjalanan itu, sebelum masuk tahun kedua perkuliahan yang padat. 



Telat Lulus Tak Apa

Waktu itu saya langsung terperangah (tentu) dalam hati. Wow, dia ambil gap year? Seketika saya merasa iri sekaligus menyesal. Kenapa saat kuliah S1, sama sekali tidak pernah terpikir, ya? Tidak mesti keliling dunia (tidak ada dananya juga, hehe). Kan bisa dipakai untuk magang, kerja, memulai bisnis, atau jadi relawan. Apa saja yang bermanfaat, sesuai nilai yang dipegang, dan yang paling penting memberikan pengalaman dan pelajaran hidup! Itu yang mahal. 

Orientasi kuliah saya ya lulus tepat waktu dengan nilai yang baik. Untungnya saya suka berorganisasi jadi masih ada kegiatan lain di luar kuliah, tidak “kupu-kupu” amat. Tapi, mengambil gap year secara sadar, tanpa dipaksa keadaan? Not a single thought.

Memang kenapa kalau tidak ambil gap year? Ya tidak apa-apa, toh itu pilihan. Mungkin gap year lebih cocok untuk mahasiswa yang orang tuanya stabil secara finansial. Dia tidak perlu memikirkan biaya kuliah (meski tidak sebesar UKT normal) untuk semester yang ditinggalkan. Mungkin juga lebih cocok untuk mahasiswa yang tidak perlu buru-buru lulus. 

Opsi gap year membuka mata saya akan adanya pilihan lain dalam perjalanan studi. Gap year seperti jalan alternatif yang memutar meski ujungnya akan kembali bertemu dengan jalan utama. Sama sekali bukan kemunduran, apalagi aib bila lulus terlambat.

Karena itu, kalau kelak anak saya meminta izin untuk mengambil cuti kuliah setahun, saya tidak akan khawatir. Tinggal uji kelayakan—tujuan harus jelas, rencana harus terukur. Kalau perlu bantuan dana dari orang tua, silakan ajukan proposal. 

Cum Laude Tidak (Seberapa) Penting 

Yang pasti, dengan mengambil gap year, predikat cum laude tidak akan mungkin diraih, sebagus apa pun nilai yang didapat selama empat tahun kuliah. Saya jadi ingat pengalaman sendiri. 

Tugas Akhir saya sempat mandek karena saya belum menemukan metode yang pas. Di awal-awal semester 8, pihak TU memberi tahu, saya bisa dapat predikat cum laude jika lulus sidang di semester itu dan ikut wisuda Oktober. Singkat cerita, rencana berjalan sesuai harapan. Saya pun lulus dengan predikat cum laude

Setelah itu apa? Apa efek signifikan dari predikat cum laude? Selain mempermudah jalan untuk lanjut S2/S3, bagi saya, tidak ada. Malah saya ingin bilang—dan Mamah boleh tidak setuju—dapat cum laude ternyata tidak sepenting itu! Jauh lebih penting rencana saat masuk ke dunia nyata.

Bukan berarti cum laude tidak bagus dan mengejar nilai bagus tidak perlu. Poinnya adalah jangan sampai mati-matian ingin cum laude, lalu tidak punya rencana apa-apa setelah lulus. Cum laude bukan tujuan, melainkan sarana untuk meraih sukses. Kalau bisa cum laude, bagus. Tidak pun, bukan masalah. 

Lebih Baik Menjadi Anak Biasa-Biasa Saja 

Mungkin keinginan saya untuk bisa lulus cum laude adalah buah dari perjalanan hidup selama bersekolah TK hingga SMA. Saya selalu jadi juara kelas dan sering jadi perwakilan sekolah dalam berbagai lomba. Saking variatifnya lomba yang saya ikuti, saya sempat protes, “Memang enggak ada anak lain?” 

Akibatnya, saya jadi terbiasa untuk memacu diri dan dipacu untuk meraih yang terbaik. Being a mediocre kid was not me and now I wish I was one of them. Anak yang biasa-biasa saja tidak hidup dalam ekspektasi orang lain serta tidak harus menyenangkan orang lain. 

Kebayang enggak sih? Setiap ikut lomba saya membawa harapan orang lain, dalam hal ini pihak sekolah dan orang tua, dan itu melelahkan. Pernah waktu SMA saya burned out, menangis di toilet sekolah karena lelah mengikuti lomba yang tahapannya berjenjang. Rasanya tidak selesai-selesai karena saya lolos terus ke jenjang berikutnya. Tidak ada yang peduli dan menanyakan kondisi mental saya. Alhamdulillah saya tidak stres berkepanjangan.  

Setelah jadi ibu, saya jadi punya standar sendiri. Pertama, terhadap anak. Kedua, terhadap sekolah. Bukannya saya tidak ingin punya anak pintar nan cerdas. Hanya saja, ada yang lebih penting daripada sekadar nilai dan juara lomba. Misalnya, menggali minat dan menemukan bakat serta membangun karakter/akhlak mulia. 

Memilih sekolah pun demikian. Untuk TK dan SD, saya menghindari sekolah yang memandang penting prestasi akademik dan nonakademik anak. Di fase ini, membangun karakter lebih krusial sebagai fondasi menjadi orang dewasa kelak ketimbang nilai dan lomba. Lain ceritanya untuk sekolah menengah nanti. Mungkin saya akan lebih ambisius meski tetap melihat kemampuan anak. 

Kalaupun ternyata anak saya termasuk golongan anak yang biasa-biasa saja, saya akan bilang, “Being a mediocre is totally fine. Teman-teman Mama yang sekarang jadi pengusaha atau dokter sukses, misalnya, dulu biasa-biasa saja di sekolah. Jadi nomor satu bukan jaminan sukses di masa depan. Untuk menjadi sukses adalah keterampilan berbeda yang harus kamu pelajari lagi.” 

Penutup

Perjalanan memberi kita banyak hal: pengalaman, kebijaksanaan, wawasan. Keputusan saya untuk menginap di hostel di Nara 14 tahun lalu membawa perspektif baru. Bahwa menjadi yang terbaik menurut standar masyarakat tidak selamanya terbaik bagi kita. Tidak mengapa keluar dari standar selama itu justru akan meningkatkan kualitas diri. Mengikuti standar masyarakat bisa jadi malah meredupkan potensi yang semestinya tumbuh. 

Saya, kita tidak bisa lepas dari standar masyarakat. Namun, kita bisa memilih akan merelakan diri untuk mengikuti standar yang mana. Keputusan kembali lagi kepada kita sebagai manusia merdeka. 


*****
Tulisan ini dibuat untuk Tantangan Mamah Gajah Ngeblog Mei 2025 tentang Unpopular Opinion.




Post a Comment

5 Comments

  1. Kebalik kita teh. Saya si biasa2 saja. Masa Sekolah dulu suka kagum dengan anak2 yg sepertinya mudah sekali menang ini dan itu. Pengen juga.
    Pernah ikut lomba mewakili sekolah tapi ya lolos seleksi aja engga.

    Awalnya sih sedih gitu ya. Udah makin dewasa lebih nerima. Kalau ada kecerdasan yang Tuhan lebihkan pada beberapa orang, sebagian yg lain tidak. Diluar ikhtiar manusia ya.

    ReplyDelete
  2. Wah makanya sempat ya teh anak-anaknya homeschooling. Sama sih aku pun milih HS ke anak karena ngga mau ikut standar sekolah kebanyakan yang mentingin ranking. Sempat juga mau nulis tentang HS sih soal topik ini. Tapi kayanya bahasannya agak sensitif dan udah pernah juga nulis mirip2 sih

    ReplyDelete
  3. Senangnya bisa dapat perspektif baru ya tentang tidak harus lulus pas 8 semester. Bisa lebih ... Dan benar itu terjadi sama anak-anakku hehehe ...

    ReplyDelete
  4. "Mengambil gap year" dari POV Teh Muti adalah insight yg completely baru buatku. Wah, saya jadi kepikiran, misal suatu saat nanti anak saya mau melakukan ini, akan kami izinkan. Tentu saja, harus direncanakan dengan matang dan tujuan yg jelas.
    Btw ku turut trenyuh, Teh. Ingin rasanya ku puk puk Teh Muti-SMA kala sedang menangis di toilet.

    ReplyDelete
  5. Baru dengar nih unpopular opinionnya mereka yang pemenang lomba. Tapi mungkin bener juga ya, yang penting itu adalah anak-anak menemukan suara hati mereka sendiri tanpa terlalu banyak dibebani ekspektasi orang-orang di sekitar mereka.

    ReplyDelete