Berkat Terpaksa

Yang namanya hidup haruslah dinamis karena dengan begitu kita akan tumbuh dan berkembang sebagai manusia.

Kebayang enggak seandainya kita selalu menjalani hidup yang itu-itu saja? Di situ-situ saja? Niscaya selain bosan, kemampuan/keterampilan kita akan mentok di satu titik. Mau naik tingkat juga untuk apa? Wong tidak ada kebutuhan.

Menurut saya cara paling mudah untuk merasakan perubahan adalah pindah. Perbedaan situasi dan kondisi akan membuat kita mencari cara untuk tetap bertahan hidup. Akal berpikir, tubuh beradaptasi, mental diuji.


Mengalahkan Rasa Takut

Begitulah yang saya rasakan waktu kembali ke tanah air dua setengah tahun lalu. Reverse culture shock, istilahnya. Iya, pindah ke negeri tempat saya lahir, tumbuh besar hingga menikah dan punya anak (ternyata) lebih sulit dibandingkan pindah ke Belanda.

Di sana saya “dimanjakan” oleh kemudahan untuk bepergian dari satu tempat ke tempat lain karena dukungan transportasi umum yang mumpuni. Di sini (baca: Bandung) boro-boro. Justru transportasi umum adalah satu poin dari deretan masalah kota yang sejak dulu dikeluhkan warga Bandung.

Selain kurang dari segi jumlah armada, mobil yang beroperasi banyak yang sudah keropos di sana-sini. Tidak adanya jadwal membuat kita tidak bisa mengukur waktu tempuh dengan tepat. Yang paling mengesalkan ialah bila supir berhenti lama di satu tempat alias ngetem! Waktu dianggap tidak ada harganya sama sekali.

Oh, itu belum ditambah faktor pengaturan arus lalu lintas di Bandung sehingga banyak jalan satu arah. Akibatnya, bisa jadi kita harus naik angkot berbeda untuk pergi dan pulang dari satu tempat. Bagi pendatang yang belum paham Bandung, ini membuat bingung, bahkan bisa tersesat.

Lokasi rumah saya juga tidak strategis untuk urusan perangkotan. Kurang lebih jaraknya 2 km dari jalur angkot. Sebenarnya ada becak, tetapi tarifnya lumayan, Rp15.000 sekali jalan, plus muatannya terbatas. Karena itu, ojek online adalah alternatif terbaik. Ojek motor jika bepergian sendiri dan ojek mobil jika bersama anak-anak (tanpa suami).

Mobil dan motor di rumah hanya digunakan di akhir pekan. Itu juga kalau ingin pergi jalan-jalan. Penyebabnya satu: saya tidak bisa mengendarai keduanya. Mungkin ada supir ojek online yang membatin, mobil ada, motor ada, tapi kenapa naik ojek? Hahaha.

Namun, cerita berubah saat anak pertama saya memilih untuk bersekolah formal di semester 2 (sebelumnya dia homechooling satu semester). Suami langsung setengah menyuruh, setengah memberi ultimatum: saya harus belajar menyetir mobil sebelum si sulung mulai masuk sekolah!

Meski suami nantinya bisa mengantar di pagi hari, ada hari-hari beliau mengajar di jam pertama sehingga harus berangkat lebih awal. Saya akan kebagian tugas menjemput di siang hari. Jika pakai ojek motor, berarti ada pengeluaran setidaknya 150 ribu per pekan. Kendala terbesarnya adalah waktu hujan deras.

Tentu saya tidak langsung bersedia. Ada ketakutan berlebih, tepatnya takut menabrak, entah itu mobil lain, motor, tembok, atau orang (naudzubillah min dzalik). Sepertinya begitu ya kalau mulai belajar berkendara di usia dewasa (baca: ibu-ibu). Tingkat keberanian berkurang seiring dengan bertambahnya pengalaman hidup dan kedewasaan. #ehm

Suami bertanya secara berkala, “Kapan mau belajar?” “Nanti, masih takut,” jawab saya. Akhirnya, setelah beberapa pekan berusaha meyakinkan diri sendiri, awal Desember 2022 saya bilang, “Oke, saya mau belajar. Cariin tempat kursus, ya.”

Kenapa enggak belajar sama suami? Oh, dulu sudah pernah, waktu si sulung masih bayi. Hasilnya nol besar karena suami tidak sabar. Alhasil saya kena omel terus, hahaha. Makanya sekarang beliau memilih menyerahkan kepada ahlinya saja.

Jujur saya takjub dengan pencapaian diri waktu awal bisa menyetir. Eh, ternyata saya bisa lo mengalahkan ketakutan yang saya ciptakan sendiri. Saya bisa melampaui batas yang saya buat sendiri.

Kenangan hari pertama menyetir untuk antar jemput anak ke sekolah 

 
Pastinya perjalanan menyetir saya tidak langsung mulus. Baru juga sehari dua hari tanpa didampingi suami, mobil sudah tergores panjang gara-gara terlalu mepet tembok di tikungan. Belum lagi menyenggol motor, kena tembok waktu parkir mundur, dan kena pinggir trotoar. Macam-macam, lah. Alhamdulillah suami sedikit berkomentar setiap saya lapor kerusakan baru. Yang ada, saya disuruh bawa ke bengkel dan klaim asuransi sendiri, heu.

Walau sekarang masuk tahun ketiga saya bisa menyetir mobil, saya masih istiqomah menjadi supir dalam kota saja. Untuk perjalanan panjang ke luar kota, saya memilih untuk duduk di kursi co-pilot. Serem euy, berada di antara mobil berkecepatan rata-rata 100 km/jam. Rekam jejak saya dalam hal ini baru satu: Buah Batu-Soreang via Tol Soroja. Itu juga karena kepepet, harus menjemput suami. Untungnya jalan lumayan sepi dan tidak banyak truk.

Sebenarnya di tahun pertama saya pernah memberi tenggat pada diri sendiri. Setelah satu tahun, saya mau belajar naik motor. Nyatanya sampai sekarang, untuk yang itu ntar dulu, deh. Saya masih belum berani. Pengalaman dua kali melihat motor jatuh di depan mata membuat nyali saya ciut. Tampaknya perlu usaha ekstra untuk kembali menaklukkan rasa takut.

Atau mungkin perlu situasi terpaksa lagi? Hehehe.

Bisa karena Terpaksa

“Terpaksa” memang seringkali jadi kata kunci yang bisa memaksa kita untuk beradaptasi dengan perubahan. Sebab tanpa adaptasi, kita akan sulit untuk bertahan. Jika diingat-ingat, adaptasi soal transportasi ini pertama kali saya alami enam belas tahun silam.

Waktu itu saya pertama kali pindah ke Jepang untuk sekolah. Selama enam bulan pertama saya tinggal di asrama kampus yang jaraknya subhanallah, jauh sekali dari gedung fakultas saya. Asrama ada di ujung utara, sedangkan gedung fakultas ada di ujung selatan. Karena area kampus sangat luas (konon paling luas seantero Jepang), butuh waktu sekitar 45-50 menit berjalan kaki. Dengan suhu udara yang masih dingin dan kondisi jalan yang masih banyak sisa salju meski awal musim semi, berjalan kaki jadi lebih melelahkan.

Saya bertekad untuk mengikuti kebiasaan orang lokal: naik sepeda. Walau waktu kecil bisa, ternyata keterampilan itu memudar seiring waktu. Akhirnya setelah mendapat warisan sepeda, berdua teman, saya belajar naik sepeda di jalan kampus yang sepi saat akhir pekan.

Jatuh? Tentu, dong. Sekali saja, kok. Rupanya tubuh saya masih mengingat keterampilan bersepeda bertahun-tahun sebelumnya sehingga saya cepat bisa menguasainya lagi.

Namun, tantangan sesungguhnya adalah di jalan raya. Di Jepang (waktu itu), pesepeda berada di atas trotoar bersama pejalan kaki. Jika tidak ada trotoar, baru sepeda boleh turun ke jalan. Ini menuntut pesepeda untuk memiliki kewaspadaan dan keahlian berkendara di antara pejalan kaki.

Pada suatu sore, beberapa hari setelah saya belajar naik sepeda bersama teman tadi, saya nyaris menabrak seorang kakek yang sedang menunggu lampu hijau penyeberangan jalan. Padahal hanya ada kakek itu sendiri, saya saja yang kurang bisa mengendalikan rem. Si kakek memarahi saya dalam bahasa Jepang sambil menunjuk-nunjuk sesuatu, saya tidak mengerti. Mungkin lapor ke polisi? Yang jelas, sampai di kamar asrama, saya patah hati sampai menangis. Mengapa hidup sesulit iniii? #lebay

Salah satu keterampilan bersepeda yang saya pelajari selama di Jepang: berkendara malam hari saat hujan sambil satu tangan memegang payung (foto: Hugo Sykes dari Pexels).


Alhamdulillah insiden serupa tidak terjadi lagi. Saya bersahabat baik dengan sepeda, sampai lihai melewati celah sempit di gerbang samping kampus tanpa turun dari sepeda. Berkat sepeda juga saya tidak ketinggalan bus yang akan membawa saya dan teman-teman tur ke ladang tulip (bayangkan, saya baru bangun 10 menit menjelang keberangkatan gara-gara begadang nonton J-drama!).

Sayangnya lain padang, lain belalang. Kelihaian ini kalah dari bobot sepeda waktu saya tinggal di Belanda. Sepeda buatan Belanda berat-berat—mungkin disesuaikan dengan postur tubuh orang lokal Eropa. Insiden jatuh dari sepeda, padahal sedang membonceng anak, terjadi tiga kali karena saya tidak kuat menahan beban dengan satu kaki. Mungkin karena tingkat keterpaksaan untuk mahir bersepeda rendah, saya tidak serius untuk meningkatkan keterampilan.

Kesimpulan

Berdasarkan pengalaman, kemampuan untuk bertahan menghadapi perubahan melibatkan unsur keterpaksaan. Memang, kadang manusia perlu dipaksa untuk naik tingkat. Seperti halnya saya memaksa diri untuk bisa menyelesaikan tulisan dalam rangka Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog Maret 2025 ini. 

Sebagai pengingat. Saat merasa terpaksa, tidak perlu mengeluh sebab manfaat yang kelak akan didapat bisa jadi lebih besar. Biarkan waktu yang membuktikan. 




Post a Comment

5 Comments

  1. Keren teh aku juga pengen belajar nyetir. Memang terpaksa dan akhirnya rela jadi kunci juga buat menghadapi perubahan

    ReplyDelete
  2. Alah bisa karena ... terpaksa? Ah, aku juga sering begitu! Hahaha. Tooosss ✌️

    ReplyDelete
  3. Bener banget sih, perlu terpaksa dulu biar bisa. Banyak yang harus dikerjain saat belum terpaksa. Ha...ha...

    ReplyDelete
  4. Owalah Teh Muti. Aku ngakak karena ada sepenggal perjalanan Muti yang sama denganku. Perihal belajar menyetir mobil. Sama sama pernah bikin goresan panjang karena terlalu mepet tembok di tikungan, plus sama sama punya suami yang ga sabar ngajarin nyetir. Ahahaha. Kalo inget masa itu, aku ngakak Teh. Dan akhirnya, aku diajarin sama Papa Mertua. PaMer luar biasa sabar dan telaten ngajarin saya nyetir, dan gak pernah panik misal saya harus segera rem.
    Iya Teh, betul sekali. TERPAKSA adalah salah satu faktor dalam brrtahan menghadapi perubahan.

    ReplyDelete
  5. Naik sepeda itu menyenangkan ya. Lama sekali saya tidak melakukannya. Ingatnya dulu saat masih anak-anak.
    Sekarang yang main sepeda anak sendiri. Ibu bapaknya engga punya sepeda hehe

    ReplyDelete