Ibu Hebat Itu adalah Aku

Aku masih ingat hari itu, 3 Februari 2020. Sebentar lagi putriku pulang sekolah. Aku segera mengambil jaket dari dalam lemari gantung untuk pergi menjemputnya.

Aah, resletingnya tidak bisa ditutup. Rupanya perutku masih gendut. Lagian baru juga sehari bayi keluar dari perut, masa mau langsung kempes seperti semula? Omelku pada diriku sendiri. Akhirnya aku mengambil jaket lain yang biasa kupakai selama hamil.

Rasanya aneh sekali. Hampa, lebih tepatnya. Baru kemarin aku menggembol perut besar ke mana-mana, sekarang aku bisa berjalan dengan ringan tanpa beban.

Tidak ada yang sadar dengan perubahan tubuhku. Mungkin karena aku masih memakai jaket yang sama seperti bulan-bulan lalu. Mungkin juga, yah … karena tidak peduli saja. Lagipula aku hanya bertemu dengan sesama orang tua siswa saat menjemput putriku di siang hari, beberapa menit saja.



Aku jamin, di Indonesia, 24 jam pascapersalinan ibu masih berbaring di atas ranjang rumah sakit atau klinik bersalin. Menikmati waktu istirahat setelah perjuangan melahirkan yang melelahkan. Aku? Sudah menjemput anak pulang sekolah, hahaha.

Putriku baru masuk sekolah lagi setelah dua pekan sebelumnya absen karena sakit cacar air. Saat berangkat dia khusus memintaku untuk menjemputnya pulang sekolah, padahal suamiku ada di rumah. Dengan menimbang kemungkinan dia akan merasa tersisih sebagai kakak setelah lahir adik baru, aku mengiyakan permintaannya.

Jarak apartemen kami dan gedung sekolah yang hanya selemparan batu membuatku hanya perlu berjalan 2-3 menit. Dengan bermodal korset, aku merasa semua akan baik-baik saja. Duniaku berputar seperti biasanya. No time for leyeh-leyeh!

Aku masih masak makan malam (dan kadang makan siang juga) untuk keluarga. Masih melayani dua anakku bermain (dan bertengkar!). Tambahannya, ada bayi baru lahir yang juga perlu diurus. Baby carrier dan bouncer adalah dua senjata andalanku saat bayi terjaga.

Perawat yang membantuku selama delapan hari setelah bersalin sampai berkata begini kepada suamiku, “You have a super wife!” karena melihatku memasak makan siang untuk anak-anak—padahal hanya mi goreng. Belakangan aku baru tahu dari teman-teman sesama orang Indonesia. Rupanya, perempuan Belanda yang habis melahirkan akan benar-benar istirahat, tidak melakukan apa-apa.

Perawat, selain membantu merawat bayi, bisa dimintai tolong untuk memasak, mencuci, bersih-bersih, dan mengerjakan tugas rumah lainnya. Dasar aku orang Indonesia yang ga enakan. Mendapat perawat yang menawarkan diri untuk mencucikan baju kotor dan menyedot lantai saja aku sudah sangat merasa terbantu. Apalagi dia melayani diri dengan mengambil minum dan menyeduh teh sendiri.

Perawat itu beberapa kali berpesan, “Take a rest.” Mungkin dia melihatku terlalu “aktif” sebagai ibu yang baru melahirkan. Aku hanya tersenyum. Jika ada anak umur empat dan dua tahun di rumah, tanpa pendukung selain suami (yang maunya tetap bekerja meski di rumah), bagaimana bisa istirahat dengan tenang? Pikiranku penuh dengan hal-hal yang harus dikerjakan.

Fabulous Five


Alhamdulillah hari-hari kami waktu itu berjalan normal. Kekurangan di sana sini pasti ada. Yang aku lakukan hanya berusaha waras dengan menurunkan standar dan ekspektasi serendah-rendahnya. Selama tubuh sehat, makanan terhidang, dan pakaian bersih, lainnya bisa dikompromikan. Lantai dan karpet disedot seminggu sekali. Mainan berantakan dibereskan menjelang tidur saja. Untungnya di Belanda debu hinggap tipis-tipis jadi tidak terlalu kotor.

Sewaktu kembali ke Indonesia, ada keluarga yang memuji, “Kak Muti hebat, lo. Bisa ngurus tiga anak kecil-kecil, tanpa pembantu. Kita di Indonesia, ada pembantu saja masih kerepotan.” Sesungguhnya mereka lupa, suami adalah pendukung utamaku. Kami pastinya berbagi pekerjaan rumah. Namun, bantuan sesederhana menerima kondisi rumah yang berantakan atau menu yang itu-itu lagi sudah cukup menjaga kesehatan mentalku.

Menurutku, setiap ibu memiliki medan perjuangannya sendiri. Aku yakin, kamu juga pasti ibu yang hebat—dengan cara kita masing-masing. Tidak perlu merasa terintimidasi dengan pencapaian orang lain sebab itu hanya akan membuat lelah. Berbahagialah dengan pencapaian sekecil apa pun karena itulah yang menghebatkan kita.

Post a Comment

1 Comments

  1. Sampe akhirnya kita jadi ibu, kita gak pernah tau kalo kita itu hebaattt. Makanya kita selalu kagum ya sama ibu-ibu kita, karena ya emang sehebat itu mereka.

    ReplyDelete