99 Cahaya di Langit Eropa: Catatan tentang Buku dan Film

One’s destination is never a place, but a new way of seeing things - Henry Miller

Bila ada hal yang saya sesali saat tinggal di Eropa, itu adalah kegagalan untuk mengunjungi dua tempat: Spanyol (Granada dan Cordoba) dan Turki (Istanbul). Sejak awal merantau pada 2017, saya sudah sampaikan kepada suami soal keinginan ini. Alasannya sederhana. Saya ingin mengalami langsung atmosfer peninggalan kejayaan Islam di Eropa.

Namun sayang, dari 4,5 tahun tinggal di Belanda, nyaris 2 tahun dunia dihebohkan oleh pandemi Covid-19. Sisa 2,5 tahun saya habiskan untuk hamil, melahirkan, dan mengurus bayi, hahaha. Tentu alasan keuangan juga berkontribusi, heuheu. Intinya cita-cita saya kandas sampai tiba waktunya kembali ke Indonesia.

Buku “99 Cahaya di Langit Eropa” karya pasangan Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra ibarat penawar bagi kekecewaan saya. Buku ini pernah saya bahas di Instagram dalam beberapa pos saking tidak bisa saya singkat dalam satu pos saja. I really really like this book.

Buku ini bercerita tentang perjalanan Hanum menemukan jejak peradaban Islam di Eropa. Dimulai dari Wina, Paris, lalu Cordoba dan Granada, dan terakhir Istanbul. Tiga tempat yang terakhir memang masyhur dengan sejarah peradaban Islam, tetapi Wina dan Paris? Saya baru tahu dan mungkin Mamah juga.



Ternyata Wina memiliki pertalian khusus dengan Islam. Fatma, sahabat Hanum yang berasal dari Turki, mengisahkan sejarah pengepungan dan penyerbuan Wina oleh panglima Turki, Kara Mustafa Pasha. Sayangnya di akhir bab tentang Wina, Fatma menghilang bak ditelan bumi. Ia pamit hanya dengan pesan singkat melalui surel.

Di Wina pula, Hanum mengorek lebih dalam tentang sejarah Islam melalui imam masjid terbesar di Vienna, Vienna Islamic Center. Dari beliau Hanum dan Rangga mendapat kartu nama Marion Letimer, seorang mualaf asli Prancis yang mengambil studi Sejarah Abad Pertengahan. Kesempatan Rangga untuk hadir dalam konferensi di Paris tidak disia-siakan Hanum untuk menjelajahi Kota Penuh Cahaya itu bersama Marion.

Di Museum Louvre, Hanum dibuat terkesima oleh bukti sejarah bahwa Islam dan Prancis pernah punya kaitan erat. Pinggiran penutup kepala Virgin Mary dalam lukisan “The Virgin and The Child”, misalnya. Bila diamati, ternyata hiasannya adalah tulisan pseudokuffic laa ilaaha illallaah.

Soal Napoleon Bonaparte juga menarik. Napoleonlah yang membangun sumbu simetris di Paris, yakni Voie Triomphale (Jalan Kemenangan). Pertanyaan Marion kepada Hanum ikut membuat saya penasaran. “Jika sumbu ditarik lurus ke arah Timur, akan sampai di mana?”

Di Cordoba, Hanum dan Rangga mengunjungi Mezquita-Cathedral. Bangunan ini semula adalah masjid, lalu diubah menjadi gereja setelah Islam terusir dari Spanyol. Beberapa bagian khas masjid, seperti minaret dan mihrab, masih bisa dilihat sampai sekarang.

Saat Eropa berada dalam zaman kegelapan, Cordoba menjadi Kota Penuh Cahaya yang sesungguhnya, bukan Paris. Cordoba, kota kelahiran Averroes (Ibnu Rusyd), adalah tempat ilmu pengetahuan berkembang dan umat Islam, Kristen, dan Yahudi hidup berdampingan dengan harmonis.

Kemudian di Granada, ada istana Alhambra. Istana ini menjadi saksi sejarah saat Sultan Mohammad Boabdil menyerahkan kunci istana kepada Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Ini menandai akhir kekuasaan Islam di Spanyol.

Kisah perjalanan Hanum dan Rangga di Eropa berakhir di Istanbul, Turki. Tepatnya karena Hanum mendapat surel dari Fatma. Isi surel ini memberi jawaban atas misteri hilangnya Fatma yang diceritakan di awal buku.

Di Istanbul, Hanum dan Rangga mengagumi Hagia Sophia, Masjid Biru, dan Istana Topkapi. Hagia Sophia dulunya adalah gereja lalu diubah menjadi masjid, kebalikan dari Mezquita. Meski begitu, pengunjung dapat mengamati dua ruh desain yang berbeda, khas gereja dan ornamen Islam karena sultan Ottoman waktu itu memilih tidak menghancurkan semua ikon Kristen.

Fatma memandu Hanum dan Rangga mengitari Istana Topkapi. Istana ini dibangun dalam ketidaksempurnaan, tidak seperti istana-istana umumnya di Eropa. Keyakinan bahwa kesempurnaan hanya milik Allah dipegang erat oleh sultan.

Di Harem, sebuah kompleks terpisah dari istana utama yang sering diasosiasikan dengan ruangan para selir raja, Fatma bercerita soal tulip. Iya, tulip itu bunga asli Anatolia Turki dan sebagian Asia Tengah yang dibawa orang Turki saat menginvasi Eropa. Orang Belanda kemudian mengembangkan tulip beraneka warna seperti yang kita kenal sekarang. 

Sebagai perantau di Belanda waktu itu, saya tidak menyangka karena saya melihat orang Belanda sangat bangga dengan tulip-tulipnya. Bahkan kami pernah mengunjungi Keukenhof, taman tulip terbesar di Belanda yang super duper ramai saat periode tulip mekar.

Buku ini untuk saya bukan hanya kumpulan kisah menapaki jejak Islam di Eropa, melainkan juga kumpulan refleksi perjalanan yang mendalam, dituliskan dengan sangat apik sehingga membuat saya sebagai pembaca ikut termenung dan berpikir. Dari Fatma, Hanum mengadopsi keyakinan bahwa seorang muslim seharusnya menjadi agen Islam yang baik. Menyebarkan Islam dengan damai, tanpa kekerasan. Islam pernah bersinar selama 1400 tahun sebagai sebuah peradaban, lalu pelan-pelan sirna. Buku ini membuat saya bertanya kepada diri sendiri, “Apa yang sudah kamu lakukan untuk mengembalikan kejayaan Islam?”

Dari Buku ke Film

Jujur saya merasa cukup hanya dengan membaca bukunya. Namun, gara-gara Tantangan Blogging Mamah Gajah Ngeblog, saya jadi (terpaksa) menonton film yang diadaptasi dari buku. Ternyata, bukan hanya satu film, melainkan tiga! Alamak.

Tadinya saya pikir filmnya akan memvisualisasikan setiap detail yang ada di buku, sampai harus dibuat dua sekuel. Namun, begitu menonton, saya jadi paham bahwa yang konsep adaptasi justru bukan begitu. Adaptasi menangkap inti cerita dari sumber asal lalu meramunya sedemikian rupa sehingga menarik dari segi cerita maupun visual serta dapat diterima penonton dalam waktu terbatas, tanpa menghilangkan pesan utama cerita.

Misalnya, tentang Kara Mustafa Pasha dan sejarah Turki di Austria. Di buku, tokoh ini diceritakan cukup detail dengan emosi yang lebih mengena di hati. Terutama karena Fatma masih merupakan keturunan dari Kara Mustafa Pasha. Namun, di film detail ini tidak dianggap penting. Kara Mustafa Pasha hanya disebut selewat di awal film dan saat adegan di museum, tanpa ada penjelasan mendalam.

Di sisi lain, ada beberapa bagian yang mendapat porsi lumayan besar dalam film dibandingkan di buku. Sebagai contoh, POV Rangga. Di buku porsi Rangga tidak banyak, sedangkan di film adegan Rangga mengalami tantangan sebagai muslim di kampus hingga dilema batin Rangga soal waktu ujian di waktu sholat Jumat cukup memakan durasi.

Konflik antara teman-teman Rangga di kampus (Stephan, Khan, dan Maarja) juga diekspos di film sampai ada adegan Stephan tertabrak mobil dan Khan kehilangan ayah akibat bom. Tentu ini dilebih-lebihkan. Di buku, teman-teman Rangga hanya diceritakan dalam satu bab khusus.

Setelah menonton film hasil adaptasi buku, saya jadi belajar bahwa dalam film konflik adalah keharusan. Tanpa konflik, film akan hambar. Karena itu, tak heran ada bumbu konflik pasangan Rangga-Hanum yang melibatkan Maarja, padahal di buku tidak ada sama sekali. Ada pula konflik antara Stephan dan Khan, yang berujung damai.

Permainan emosi penting dalam film. Film yang berhasil mengaduk emosi penonton adalah film yang sukses. Dalam film “99 Cahaya di Langit Eropa” penonton terhanyut oleh cerita Ayse, anak Fatma. Ayse digambarkan sebagai anak usia 8–9 tahun yang dirundung salah satu teman sekelasnya karena memakai kerudung ke sekolah. Hanum berteman baik dengan Ayse, malah berkat Ayse, Hanum akhirnya memutuskan untuk menutup aurat. Di akhir film kedua, Ayse diceritakan sakit kanker dan akhirnya meninggal.

Meski sakitnya sama dan akhirnya juga meninggal, di buku usia Ayse baru berusia 3 tahun. Rupanya usia ini dirasa kurang menarik untuk ditampilkan apa adanya di film. Karena itu dibuatlah karakter Ayse yang lebih besar agar interaksi Hanum, Fatma, dan Ayse lebih utuh.

Yang unik, ada urutan cerita di film yang berbeda dari buku. Juga ada cerita yang dipelintir. Di film, Marion adalah teman Fatma, bukan kenalan imam masjid Vienna Islamic Center. Fatma memberikan kartu nama Marion karena tahu Rangga dan Hanum akan pergi ke Paris.

Lagi-lagi, di film semua hal bisa terjadi. Seperti adegan Rangga azan di atas menara Eiffel. Bagi saya itu lebai banget. Untuk apa? Terlebih, di situ cuma ada mereka berdua, tidak ada pengunjung lain. Jelas ini dibuat untuk kepentingan film sebab tidak ada cerita itu di buku, bahkan cerita mereka naik ke Menara Eiffel pun tidak ada!

Kalau diminta memberikan rating, saya akan memberikan 8/10. Film ini membuat saya bernostalgia dengan suasana di Eropa (duh, jadi kangen!). Pengambilan gambarnya oke, akting para pemeran juga oke. Pemilihan pemeran Fatma, Marion, Stephan, dan Khan cukuplah untuk mewakili profil wajah orang Turki, Eropa, dan Pakistan. Yang mengganjal hanya Ayse yang kurang "Turki", heu. 

Oh iya, sekadar tips. Jika Mamah tidak punya banyak waktu untuk menonton ketiga film, lebih baik menonton yang ketiga saja yang berisi rangkuman adegan penting dari film pertama dan kedua dengan POV Rangga. Namun, menonton semua pasti lebih seru. Film pertama berlatar Wina dan Paris, sedangkan film kedua berlatar Cordoba dan Turki dengan POV Hanum. 

Penutup

Pantas saja orang-orang banyak yang kecewa saat menonton film hasil adaptasi dari buku. Agaknya karena ada ekspektasi, film akan sesuai dengan cerita di buku, padahal bukan begitu. Buku dan film adalah media berekspresi yang berbeda. Buku memberi ruang imajinasi maha luas kepada pembaca, sedangkan film menyajikan imajinasi itu secara gamblang.

Makanya, sah saja jika film tidak 100% sama dengan buku. Tentu ada penyesuaian yang melibatkan analisis pasar saat membuat skenario sehingga film tidak bisa seidealis buku. Dalam film “99 Cahaya di Langit Eropa” saja 2–3 kali produk sponsor sengaja disorot. Syuting di Eropa pasti mahal, kan?

Meski sulit, akan lebih baik kita melepaskan diri dari buku dan menikmati film adaptasi sebagai entitas terpisah. Kalau tidak, kita akan sibuk menyama-nyamakan. Jika mendapati ketidaksesuaian, siap-siap saja untuk kecewa.

Setelah menonton film ini, saya tidak akan menilai mana yang lebih baik: bukunya atau filmnya? Saya suka dua-duanya. Malah saya menyarankan Mamah untuk membaca buku dan menonton filmnya. Buku banyak membuat kita merenung lebih dalam. Film menggambarkan realita (sekaligus renungan tipis-tipis). 

Jadi, mau baca buku dulu atau nonton dulu, nih?





Post a Comment

6 Comments

  1. Teh Muti mirip ini pengalaman dan rasa saat nonton filmnya hehehe ...

    "Meski sulit, akan lebih baik kita melepaskan diri dari buku dan menikmati film adaptasi sebagai entitas terpisah. Kalau tidak, kita akan sibuk menyama-nyamakan. Jika mendapati ketidaksesuaian, siap-siap saja untuk kecewa."

    Salam semangat

    ReplyDelete
  2. Hooo, baru tau kalau ada sampe 3 film yang mengadaptasi buku yang sama. Dulu aku nonton film pertamanya aja ... dan nggak suka. Hehehe. Antara lain karena lebay itu. Heuuu....

    ReplyDelete
  3. salah satu bagian di film yang kurang greget bagian menjelajah museum. kalau tidak salah di film ditunjukkannya lewat gadget saja. padahal saya menantikan betul2 menjelajah. mungkin kepentok izin shooting?

    ReplyDelete
  4. Sudah baca bukunya, hanya nonton filmnya yang pertama.... dan ngantuk. Yang paling bikin ngantuk tuh ada durasi yang dilama-lamain, kayak adegan Acha (si Hanum) nyebrang jalan aja udah ngabisin 15 detik sendiri, dan saya kok enggak bisa ngeliat makna atau sisi estetiknya ya. Hehehe. Sepakat, bukunya optimistik seperti penulisnya. Saya sempat ngobrol juga dengan Mbak Hanumnya dulu.

    ReplyDelete
  5. Menarik juga ya bukunya. Dulu gak begitu minat nonton filmnya karena genre dan pemerannya tidak masuk daftar tonton. Tapi setelah baca ini jadi penasaran sama bukunya karena tema yang menarik. Nuhun ya teh rekomendasinya

    ReplyDelete
  6. Wah pas ini, saya baru saja mendapat hadiah tiga buku ini sekaligus dari seorang teman. Kata beliau buku-buku ini cocok untuk mengisi perpustakan di rumah kami, alhamdulillah. Belum sempat dibaca, tapi sesudah baca postingan ini jadi semangat mau baca. Terimakasih Teh.

    ReplyDelete